Lembaga sertifikasi Aquaculture Stewardship Council (ASC) dan Marine Stewardship Council (MSC) telah merilis standar bersama untuk produksi rumput laut yang berkelanjutan secara lingkungan dan bertanggung jawab secara sosial. Budidaya rumput laut telah dikaitkan dengan sejumlah dampak lingkungan, seperti konversi habitat kritis, penggunaan bahan yang tidak ramah lingkungan, pengambilan rumput laut di alam yang tidak menjamin stok di alam.
Maka dari itu, Celebes Seaweed Group (CSG), perusahaan rumput laut di Sulawesi Selatan bergabung dalam Seafood Savers WWF-Indonesia sejak 2016 dan pada Desember 2019 telah mempunyai workplan pemenuhan standar ASC-MSC untuk CSG yang ada di Kabupaten Bone.
Dalam praktiknya, selama rentang 10 bulan Aquaculture Improvement Programme (AIP) ASC-MSC Seaweed CSG Bone, memperoleh banyak hambatan. Mulai dari aktivitas ekonomi pembudidaya rumput laut yang menurun akibat permintaan pasar luar negeri akan produk Gracilaria yang rendah, hantaman bencana wabah Covid-19 di Tiongkok dan melebar ke Indonesia, menyebabkan lesunya pembelian dan dilanjutkan pembelian dalam jumlah rendah.
Hal ini mengurangi semangat kepada pelaku usaha budidaya Gracilaria untuk menerapkan standar budidaya yang menjamin minimalitas dampak ke lingkungan dan sosial.
Artikel terkait: Rumput Laut Indonesia terus Berjuang untuk Produksi bagi Dunia
Oleh sebab itu, berdasarkan hasil diskusi dan wawancara dengan para pembudidaya gracilaria mitra CSG di Desa Latonro, Kecamatan Cenrana, Kab. Bone, bahwa terdapat cara untuk meningkatkan ekonomi para pembudidaya, yaitu dengan melakukan budidaya alternatif Gracilaria, tepatnya pada musim hujan, yang mana budidaya Gracilaria tidak dapat berproduksi. Komoditas yang disepakati untuk diujicoba yaitu budidaya ikan nila, baik nila tawar maupun nila salin (air payau).
Dari diskusi tersebut, maka dirancanglah pertemuan dengan para pembudidaya, pada 5 November 2020. Kegiatan tersebut sebagai pertemuan pertama dalam rangka inisiasi pertemuan berantai pembudidaya Gracilaria untuk peningkatan ekonomi dan pelaksanaan budidaya Gracilaria yang bertanggungjawab dan berkelanjutan. Letak Desa Latonro lumayan jauh dari pusat Kecamatan Cenrana dengan akses yang terbatas, harus menggunakan transportasi perahu ditempuh dengan waktu kurang lebih 30 menit. Kegiatan pelatihan ini dihadiri oleh aparat Desa Latonro, Perusahaan CSG Bone, serta sekitar 25 Petambak Desa Latonro.
Pada pukul 10.00 WITA, sebelum masuk ke materi inti, Idham Malik, selaku Aquaculture Spesialist Yayasan WWF Indonesia terlebih dahulu mengajak petambak untuk diskusi kondisi ekonomi para pembudidaya Gracilaria.
Pembudidaya menceritakan bahwa untuk satu petak tambak dengan luas 2 hektar, pembudidaya hanya bisa memperoleh sekitar Rp 2-3 juta, setelah dibagi dengan penggarap dan tenaga panen, hanya memperoleh Rp 1-2 juta/bulan. Jika ditambah dengan penjualan kepiting dan bandeng, pembudidaya memperoleh Rp 2-3 juta perbulan. Pendapatan tersebut dinilai kurang cukup untuk memenuhi biaya hidup sehari-hari. Dimana pengeluaran bulanan dapat melebihi nominal yang mereka peroleh tiap bulannya.
Baca juga: Prof. Nurjanah, Rumput Laut sebagai Inovasi Pemanfaatan Berkelanjutan
Berdasarkan temuan tersebut, dicarilah faktor-faktor yang dapat meningkatkan ekonomi. Pertama dengan peningkatan produksi dan kualitas Gracilaria itu sendiri. Penyebab produksi rumput laut selain cuaca, di mana air tambak menjadi tawar yaitu kualitas tanah tambak yang menurun lantaran jarang dikeringkan. Salah satu strategi untuk peningkatan produksi dan kualitas Gracilaria di masa yang akan datang, dengan mendorong pembudidaya untuk melakukan pengeringan 1 kali dalam setahun.
Langkah kedua, yaitu dengan polikultur budidaya Gracilaria dengan nila. Hal ini dilakukan dengan melihat potensi tambak dan perairan di Desa Latonro, yang memiliki kecenderungan untuk tawar pada musim penghujan, yaitu sejak Maret-Juni. Terlebih harga ikan nila cukup menjanjikan, yaitu Rp 20.000-Rp 30.000/kilogram.
Langkah ini menjadi pengalaman baru bagi petambak, sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan pengalaman praktik mereka. Wacana pengeringan tambak juga selaras dengan praktik budidaya nila, yang dianggap mampu meningkatkan ekonomi pembudidaya Desa Latonro.
Melalui hasil budidaya nila, para pembudidaya dapat melakukan pengeringan, sebab, terdapat sokongan biaya dari hasil nila untuk membeli bibit rumput laut pasca pengeringan tambak. Di samping itu, dalam perencanaan budidaya, juga disepakati bahwa petambak siap untuk melakukan polikultur gracilaria dan udang windu. Hal ini sebagai ujicoba, apakah udang windu dapat bangkit kembali di Kecamatan Cenrana Kab Bone, yang dahulunya pernah berjaya.
Diskusi dilanjutkan dengan penjelasan mengenai standar ASC-MSC Seaweed. Mulai dari prinsip 1) status stok rumput laut yang diambil dari alam, 2) dampak kegiatan budidaya pada lingkungan, 3) manajemen efektif perusahaan/unit usaha, 4) adanya tanggungjawab sosial, 5) hubungan dan interaksi komunitas.
Seputar rumput laut: Teknik Budidaya Rumput Laut Eucheuma sp.
Pembudidaya Gracilaria secara perlahan paham manfaat dari standar ASC-MSC Seaweed, bahwa secara umum praktik budidaya yang mematuhi standar dapat meminimalisir dampak lingkungan dan perbaikan hubungan dengan masyarakat sekitar. Beberapa implikasi utama dari penerapan standar ini yaitu rehabilitasi mangrove, adanya standar operasional budidaya Gracilaria, diskusi bulanan dalam kerangka Sekolah Tambak Desa Latonro, serta penguatan komunitas dalam bentuk kelembagaan yang bersifat organik masyarakat setempat.
Pada kesempatan ini juga menghadirkan Wahyudin Hasan, praktisi budidaya nila asal Makassar. Memberikan orientasi kepada para pembudidaya Gracilaria Desa Latonro, seperti pendapatan yang akan diperoleh dengan budidaya selama 4-5 bulan, yang dapat menghasilkan 1-2 ton, yang jika dirupiahkan bisa memperoleh Rp 10-20 juta.
Dalam orientasi ini diberi pula pandangan bahwa nila dapat bersahabat dengan Gracilaria, yaitu dengan memperbanyak terlebih dahulu pakan alami nila, seperti klekap dan lumut. Sehingga, ikan nila yang ditebar sebanyak 5000-10.000 ekor/hektar itu dapat memakan klekap dan lumut, sebagai antisipasi nila memakan Gracilaria.
Setelah sesi Sekolah Tambak Desa Latonro ini, para petambak kian bersemangat, masih ada alternatif lain untuk meningkatkan ekonomi, sekaligus bisa disinergikan dengan budidaya Gracilaria. Ekonomi masyarakat meningkat, pengetahuan melebar dan bertambah, serta pembudidaya tetap konsisten untuk berbudidaya gracilaria, di mana besar harapan terjadi peningkatan produksi maupun kualitas rumput laut Gracilaria.
Informasi lainnya: Terbesar di Dunia, Luas Habitat Rumput Laut Indonesia Capai-1-2 Juta Ha
Artikel ini pertama kali dipublikasikan oleh WWF. Ketepatan informasi yang terdapat di dalamnya di luar tanggung jawab Seaweednetwork.