Hijiki adalah salah satu jenis rumput laut yang kerap hadir dalam hidangan tradisional Jepang dan Korea. Dengan bentuknya yang khas dan warna hitam pekat, hijiki sering diolah menjadi sup, salad, atau lauk pendamping yang sederhana namun menggugah selera.
Meski populer di dapur Asia, keberadaan hijiki tidak bisa dilepaskan dari berbagai catatan terkait keamanan pangan. Kandungan alami yang terdapat pada hijiki membuat masyarakat dunia harus lebih berhati-hati dalam mengonsumsinya.
Artikel ini akan membahas lebih lanjut mengenai apa itu hijiki, dan anjuran konsumsinya yang dikeluarkan berbagai lembaga keamanan pangan.
Apa Itu Hijiki?
Hijiki adalah olahan rumput laut dari jenis Sargassum fusiforme, sejenis rumput laut cokelat yang setelah dikeringkan berubah menjadi hitam pekat.
Rumput laut ini tumbuh di perairan pesisir yang berbatu, terutama di Jepang, Korea, dan sebagian wilayah Cina. Hijiki biasanya dipanen, direbus, lalu dikeringkan sehingga bentuknya menyerupai serabut kecil berwarna hitam.
Ciri-ciri hijiki cukup khas jika dibandingkan dengan rumput laut lain seperti nori atau wakame. Teksturnya kering dan kasar saat mentah, namun setelah direndam akan kembali lunak dan mengembang.
Dalam hidangan tradisional Jepang, hijiki umumnya disajikan sebagai lauk pendamping berupa tumisan bersama wortel, kedelai, atau tahu.
Hijiki dan Kandungan Arsenik
Di balik kepopulerannya, hijiki menyimpan catatan terkait keamanan pangan. Beberapa penelitian menemukan bahwa hijiki memiliki kemampuan menyerap arsenik dari lingkungan laut.
Dalam jumlah tertentu, arsenik anorganik dapat bersifat berbahaya bagi kesehatan manusia karena berpotensi menimbulkan masalah pada sistem pencernaan, gangguan kulit, hingga meningkatkan risiko kanker bila dikonsumsi dalam jangka panjang.
Temuan mengenai kandungan arsenik anorganik dalam hijiki membuat banyak lembaga kesehatan dunia memberikan anjuran dan peringatan untuk mengonsumsinya.
Anjuran Konsumsi Hijiki
Menyadari adanya risiko dari arsenik, pemerintah Jepang sendiri sebenarnya tidak melarang konsumsi hijiki sepenuhnya. Namun, mereka mengeluarkan anjuran konsumsi hijiki dalam jumlah terbatas.
Pemerintahan Jepang mengatakan bahwa konsumsi lebih dari 4,7 gram hijiki per hari dapat melebihi batas toleransi aman.
Berbeda dengan Jepang, beberapa negara Barat justru mengambil sikap yang lebih tegas. Otoritas Keamanan Pangan Irlandia (FSAI) dan lembaga kesehatan di Kanada, misalnya, menyarankan masyarakat untuk menghindari hijiki sama sekali.
Di sisi lain, konsumen global kini memiliki banyak pilihan alternatif rumput laut yang aman, seperti wakame, kombu, atau nori. Semua jenis rumput laut ini dapat menggantikan fungsi hijiki dalam masakan tanpa memberikan risiko yang sama terhadap paparan arsenik.
Anjuran konsumsi hijiki pada akhirnya bukan hanya persoalan budaya kuliner, melainkan juga keputusan kesehatan yang bijaksana. Bagi mereka yang tetap ingin mencicipi cita rasa autentik dari hidangan Asia, ada baiknya selalu memperhatikan informasi resmi dari lembaga kesehatan setempat dan mempertimbangkan risiko arsenik yang terkandung di dalam hijiki.
Sumber gambar: The Setouchi Cookbook