Anggota Komisi IV DPR-RI sekaligus mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Prof. Rokhmin Dahuri, menyoroti peran strategis rumput laut dalam pembangunan berkelanjutan dan pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam sebuah forum yang membahas potensi rumput laut sebagai penyerap karbon dan penggerak ekonomi, ia menegaskan pentingnya komoditas ini bagi masa depan Indonesia.
Dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk "Hulunisasi Rumput Laut" yang digelar secara daring pada Senin (3/2/2025), guru besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University ini menguraikan manfaat besar rumput laut bagi Indonesia.
Ia menekankan bahwa produksi rumput laut yang melimpah dapat dimanfaatkan dalam berbagai industri, termasuk pangan, farmasi, dan bioenergi.
“Biaya awal rumput laut yang rendah, potensinya untuk penciptaan lapangan kerja, manfaat lingkungannya termasuk penyerapan karbon, dan kemampuannya untuk meningkatkan ketahanan pangan dan kemandirian energi,” ungkapnya.
Ia juga menambahkan bahwa pemanfaatan rumput laut secara maksimal membutuhkan inovasi teknologi, sistem manajemen yang efektif, serta kolaborasi berbagai pihak agar dapat berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan hingga tahun 2045.
Rumput Laut sebagai Game Changer
Prof. Rokhmin menegaskan bahwa rumput laut memiliki potensi besar untuk menjadi pilar utama dalam mencapai visi Indonesia Emas 2045. Beberapa faktor yang mendukung asumsi ini meliputi:
Produksi Besar dan Pangsa Pasar Global
Indonesia merupakan salah satu produsen utama rumput laut penghasil karagenan (Eucheuma spp.) dan agarosa (Gracilaria spp.) berdasarkan data dari FAO 2022. Sedangkan, penelitian dari FAO pada 2024 mencatat produksi mencapai 9,7 juta ton dengan nilai ekspor Rp 28,36 triliun pada 2023, menjadikannya negara produsen terbesar kedua di dunia.
Bahan Baku Utama Berbagai Industri
Rumput laut menjadi bahan baku utama bagi berbagai sektor seperti makanan dan minuman, farmasi, kosmetik, biomaterial, hingga biofuel. “Hal ini mendukung kedaulatan pangan, energi, dan farmasi,” jelasnya.
Prospek Ekonomi Cerah
Seiring dengan pertumbuhan populasi, permintaan terhadap produk olahan rumput laut terus meningkat, menjadikannya peluang bisnis yang menjanjikan.
Investasi Terjangkau dan Keuntungan Besar
Budidaya rumput laut tidak memerlukan modal besar, menguntungkan, serta memiliki masa panen yang singkat (sekitar 45 hari), menjadikannya solusi efektif untuk penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan.
Penyebaran Usaha di Wilayah Pesisir
Sebagian besar usaha budidaya rumput laut berada di wilayah pesisir, pulau kecil, dan desa, yang berkontribusi terhadap pengurangan kesenjangan pembangunan antarwilayah serta meningkatkan daya saing ekonomi nasional.
Kontribusi terhadap Mitigasi Perubahan Iklim
Rumput laut mampu menyerap karbon dioksida (CO2) hingga 20 kali lipat lebih banyak dibandingkan tanaman darat, menjadikannya solusi alami untuk mitigasi perubahan iklim global (FAO, 2020).
Tidak Menyebabkan Konflik Penggunaan Lahan
Berbeda dengan kelapa sawit, budidaya rumput laut dilakukan di perairan laut dan tambak sehingga tidak mengganggu lahan pertanian pangan.
Menjaga Kesehatan Ekosistem Laut
Budidaya rumput laut juga berperan dalam menjaga keseimbangan ekosistem laut, mengurangi eutrofikasi, serta mendukung keanekaragaman hayati sesuai dengan konsep ekonomi biru.
Sumber Daya Alam Terbarukan
Sebagai sumber daya alam yang dapat diperbarui, rumput laut mendukung prinsip pembangunan berkelanjutan dan menjadi aset penting dalam menjaga ketahanan ekonomi di masa depan.
Permintaan Global Terus Meningkat
Sementara itu, Direktur Rumput Laut Direktorat Jenderal Perikanan Budi Daya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Nono Hartanto, memproyeksikan bahwa pada 2029 permintaan rumput laut global akan mencapai 40-43 juta ton. Kategori makanan siap konsumsi masih mendominasi dengan kontribusi lebih dari setengah total permintaan, sementara sektor pakan akuakultur dan industri lain juga menunjukkan pertumbuhan signifikan.
“Kami fokus pada potensi rumput laut sebagai penyerap karbon dan perannya dalam kebijakan Ekonomi Biru. Laporan ini merinci statistik produksi dari tahun 2020 hingga 2025, menyoroti jenis-jenis rumput laut yang dibudidayakan, termasuk Euchema cottonii dan Gracilaria sp. beserta volume dan nilai produksinya,” jelasnya.
Dalam mendukung program ekonomi biru, KKP mencatat peningkatan produksi perikanan budidaya sebesar 13,64 persen dibandingkan tahun sebelumnya, khususnya untuk lima komoditas ekspor unggulan, yaitu udang, rumput laut, dan nila salin. Pada 2024, total produksi perikanan budi daya mencapai 6,37 juta ton, mengalami kenaikan 13,64 persen dibanding tahun sebelumnya, sementara produksi rumput laut meningkat 10,82 persen menjadi 10,80 juta ton.
Kenaikan ini juga diikuti dengan meningkatnya pendapatan rata-rata pembudidaya ikan, yang mencapai Rp 5.136.547 atau meningkat 4,55 persen dibanding tahun sebelumnya, bahkan lebih tinggi dari Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di beberapa daerah.
Dengan potensi besar yang dimilikinya, rumput laut diyakini dapat menjadi salah satu motor utama dalam mendorong Indonesia menuju Indonesia Emas 2045.