Potensi Rumput Laut Indonesia, Bisa Diolah Jadi Gula Hingga Bioetanol

3 years ago

Indonesia merupakan negara yang memproduksi rumput laut cottonii terbesar di dunia. Namun, Indonesia juga menjadi pengimpor terbesar produk olahan rumput laut, terutama produk karaginan. 

 

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB University Uju menilai, seharusnya Indonesia menjadi leader untuk industri rumput laut dan turunannya, terutama untuk jenis cottonii. Ia pun mengenalkan pendekatan biorefinery untuk mengembangkan potensi dan pemanfaatan rumput laut carrageenophyte cottonii.

 

"Rumput laut Kappaphycus (cottonii) selain dapat menghasilkan karaginan juga dapat menghasilkan bahan-bahan biokimia lainnya. Yakni pigmen fikoeritrin, selulosa, pupuk, bioetanol, gula serta produk biokimia lainnya yang memiliki nilai jual dan nilai tambah yang tinggi untuk industri pengolahan karaginan," ujar Uju mengutip siaran pers IPB, Jumat, 6 Agustus 2021.


Menurut Uju, fikoeritrin ini banyak digunakan sebagai pewarna dalam makanan, obat-obatan, dan kosmetik. Harganya bisa mencapai 3,45-14 dolar Amerika per miligram. Untuk mengekstraksi pigmen fikoeritrin, umumnya dilakukan dengan maserasi pada suhu rendah. Sehingga perlu waktu yang lama, lebih dari 24 jam.

 

IPB menggunakan akselerasi ultrasonikasi untuk mengekstraksi pigmen fikoeritrin. Ternyata, kata dia, metode ini dapat mempersingkat waktu ekstraksi empat kali lebih cepat serta konsentrasi pigmen yang dihasilkan 1,6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan proses maserasi biasa (proses pemurnian sederhana dengan amonium sulfat menghasilkan indek kemurnian 1,2 (food grade)). 

 

"Indeks kemurnian ini masih dapat ditingkatkan untuk memperoleh indek kemurnian produk farmasi," tutur Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan, FPIK IPB University ini.

 

Masalah dan tantangan yang lain yang muncul pada industri refined carrageenan menurutnya adalah tingginya biaya proses pemurnian karaginan. Pemurnian menggunakan alkohol akan menghasilkan mutu karaginan yang lebih baik dan harga yang lebih mahal.

 

Uju mengatakan proses ini membutuhkan jumlah volume alkohol yang banyak. Yaitu 1,5 - 4 kali volume filtrat ekstrak rumput laut. Ia mencoba menerapkan proses mikrofiltrasi. Lewat inovasi ini, tim peneliti dapat mengurangi penggunaan volume alkohol 4,5-12 kali, sehingga biaya produksi untuk proses presipitasi dapat dikurangi.

 

"Proses mikrofiltrasi juga secara signifikan dapat meningkatkan kemurnian refined carrageenan. Gel yang dihasilkan pun menjadi lebih kuat dan dapat memenuhi standar yang ditetapkan oleh FAO-JECFA," terangnya.

 

Selain itu, di tangan Uju, limbah padat karaginan (pengolahan refined carrageen) dapat diolah menjadi biosugar dan bioethanol. Menurutnya, limbah padat karaginan ini memiliki kadar lignin yang lebih rendah serta kadar selulosa 34 persen. Kadar ini mendekati kadar biomassa tanaman darat sehingga dikonversi menjadi biosugar (glukosa) dan bioethanol.

 

"Kami memanfaatkan teknologi pretreatment ionic liquid [Hpy][Cl] untuk mengkonversi selulosa limbah padat karaginan menjadi gula yang cepat, efisien dan lebih ramah lingkungan. Pengolahan limbah padat karaginan menjadi bioetanol juga memiliki nilai konversi yang tinggi dengan biaya produksi yang bersaing dengan bioetanol berbahan baku tebu dan dari jenis pati-patian," paparnya.


Sumber: https://www.medcom.id/pendidikan/riset-penelitian/4ba3q6ZK-potensi-rumput-laut-indonesia-bisa-diolah-jadi-gula-hingga-bioetanol

Our Partners
Supported By